Satu
jam 5 menit
Menatap kosong hamparan ilalang
berwarna hijau yang bergerak
kesana-kesini mengikuti arah angin. Entah berapa lama aku menghabiskan waktu.
Menyandarkan kepala diatas kaki yang tertekuk. Menyesali semua yang pernah
terjadi dan mengapa harus terjadi didalam kehidupanku.
“sudah … nikmati saja hidup ini.”
Suara ramah tiba-tiba muncul.
Tanganku refleks melenyapkan air
mata. Bola mataku sibuk mencari asal suara. Menemukan. Tidak lebih 5 meter
jarakku dengannya. Cewek berkaca mata dilengkapi garis melengkung di bibirnya.
Dia aktif berorganisasi dan semua warga
sekolah mengenalinya. Diah. Aku mencoba mengusirnya tapi cewek ini menolak.
Sebagai respon dia melempar senyum lagi.Aku melirik ke bidang bulat berjarum
dua. Pukul 9.00.
“Mau cerita?”dia mulai berdiri
melempar tatapan ke arahku.
Tersentak. Pertanyaan itu begitu
asing bagiku. Bola mataku bertatapan dengannya. Auranya memancarkan kedamaian
tanpa masalah hidup. Tanpa disadari aku mencurahkan segala masalah hidup. Tidak
peduli seberapa besar tanggapannya.
Enam bulan lalu. Hatiku tersambar
petir melihat segalanya pecah, isakan tangisan beradu suara keras
berulang-ulang . Berkali-kali. Kakiku gemetar, melangkah secepat yang aku bisa.
Menghempaskan tubuhku ke ranjang . Nafasku masih terputus-putus. Mencoba
melenyapkan apa yang aku lihat. Sesuatu akan berubah. Hari berganti, mungkin
ini pertanda semua berganti . Aku tidak pernah melihat senyuman, merasakan pelukan
ibuku lagi. Semua hilang tiba-tiba. Menyandarkan punggung pada kursi kecoklatan. Yang aku bisa hanya menangis, menatap foto
ibu yang sedang tersenyum. Bertanya kepada ayah tidak mungkin. Raut wajah ayah
berganti merah dan tatapan yang menusuk ketika aku bertanya tentang ibu. Aku
berusaha menemukan misteri apa yang tersimpan.
Misteri terbuka. Gemuruh membuat
dadaku sesak. Terkadang menemukan sebuah misteri setelah berusaha sampai titik
puncak perjuangan lebih menyiksa dari pada sebuah penantian misteri. Mengasingkan
diri. Aku membekukan hati mungkin butuh lama untuk mencairkan.
Sesekali sudut mataku mencuri raut
wajah cewek yang ada di sampingku. Matanya terpenjam, kakinya bergerak
maju-mundur. Sepersekian detikpun tidak memancarkan sedih, garis wajahnya
mengalir tenang.
“Kamu mendengarkan aku?” Sambil
melempar batu-batu kecil ke arah ilalang.
Gerakan kepala ke bawah dan senyum
yang aku terima. simbol Iya. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia melempar
tatapannya lurus kedepan. “Sampai kapan kamu meratapi kehidupan ini dengan rasa
kegalauan?”
Sorot mataku tajam kearahnya. “Misteri
yang kau temukan, bukanlah misteri yang sebenarnya. Misteri di dalam hidup ini
sangatlah mengagumkan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.” Balasnya
Tiba-tiba dia berkicau tentang
kehidupannya dua tahun lalu.
Gelap gulita. Yang tersisa lampu samar-samar
menerangi jalannya yang tidak menentu arah. 12.05 malam. Angin membalut tubuh
yang setengah sadar menuju rumah yang sangat sulit di lewati mobil. Kalaupun bisa. Bisa dipastikan mobil itu
lecet disana-sini. Mengangkat sepatu. Berjalan dengan menjinjit. Pelan, sangat
pelan.
Tersentak. Langkah kaki terhenti.
Sejurus kemudian dua orang mendekati diah dengan tatapan-tatapan yang sangat
kontras. Papa dan mama.
“Diah, ikut papa” Suara itu sangat
datar.
Pasrah. Itulah yang hanya dapat diah
lakukan. Mungkin pukulan atau siraman air yang akan diterimanya. Pikirnya.
Langkah papa terhenti disudut rumah, tempat di mana anak pertamanya sering
menatap rembulan disini. Sungguh, sangat indah.
“Diah, kamu ini anak pertama, contoh
bagi adik-adikmu. Kamu bertanggung jawab atas adik-adikmu dan ibumu.” Suara
yang sangat bijaksana. Jarang bahkan tidak pernah lelaki di depan matanya
berkata seperti itu. Lelaki yang biasa memukuli atau menyirami air jika diah
melakukan kesalahan. Kesalahan sepele dapat sangat fatal kalau lelaki ini tahu.
Aku hanya terdiam.
Belum sempat mentari menampakkan
dirinya. Teriakan bercampur tangisan memenuhi rumah. Diah terlompat dari tempat
tidur. Melihat mama dan kedua adiknya menangis
tanpa henti dan disisinya papa yang terbujur kaku. Merinding. Mereka saling memeluk satu sama lain.
“Tata, kau tahu bagaimana rasanya?”
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul.
Terdiam. Otakku masih sulit untuk
menerima bahwa cewek yang berada di sisinku pernah mengalami seperti itu. Memilukan.“Lalu, apa yang kamu lakukan?”
Dia mulai berkicau lagi. Mengabaikan
pertanyaanku.
Butuh waktu lama. Untuk menerima itu
semuanya. Kata-kata papa itu masih terngiang-ngiang. Semuanya bercampur aduk.
Menciptakan suatu perasaan yang sangat menggalaukan. Sebulan berlalu. Aku mulai
berhenti keluar malam. Di rumah aku hanya melamun.
“Sampai kapan kamu terus meratapi
hidup ini?” suara gemetar dan di temani suara batuk.
Perkataan mama menghamburkan lamunan
dan menyentak hatiku. Diah mulai menata hatinya. Mengumpulkan semangat hidup
yang hancur berserakan dan berdoa kepada
Tuhan. Kekuatan itu menyeruak di dalam hatinya menyatu dengan tubuhnya.
“Ta, doa memberikan kekuatan
tersendiri dalam hidup ini. Tanpa disadari Tuhan akan membatu dalam melewati
segala kesusahan dan rasa kegalauan tentang hidup ini.” Katanya ramah.
Melihat ibunya semakin sering
memegang dada lalu terduduk. Diah memutuskan untuk berhenti sekolah pada saat
dirinya belum mengantongi ijazah SMP. Disaat remaja-remaja sepantarannya
berpakaian seragam. Saling melempar tawa, tersenyum dan mengayuh sepeda atau melangkah
bersama menyongsong masa depan yang cerah.
Pagi-pagi buta, diah harus siap
dengan keranjang besar di gantung ke leher bersandar pada punggung mungilnya.
Memakai topi lebar terbuat dari bambu. Menyusuri jalan setapak, menghirup udara
segar yang khas dan di temani
pemandangan yang mempesona. Butuh waktu dua jam, sampai ke dedaunan rimbun yang
menawarkan sesuap nasi.
Gunung kerinci menjulang tinggi.
Keindahannya dapat mengikat siapa saja untuk berkunjung ke situ. Sesekali,
sebelum mentari meninggi. Diah duduk bersimpuh di atas bukit, manarik napas
dalam-dalam dan menghembuskan. Setiap hembusan terlihat jelas. Menyaksikan
mentari timbul. Sungguh Indah. Hijau. Hamparan daun teh membentang luas. Satu
persatu tangannya memetik daun dari
tempatnya. Dan hanya bisa pulang jika kerajang besar ini telah penuh. Dan
hasilnya kurang dari cukup.
Aku terperanjat. Diah rupanya sangat mengagumkan.“Bagaimana kamu
bisa sekolah lagi?”
“Tuhan telah menyiapkan rencana yang
sangat manis buatku dan untuk hamba-hambanya” Senyuman itu kembali terukir di
bibirnya.
Setelah
kurang lebih tiga bulan diah menjalani kehidupaan seperti itu. Lelah. Ingin
memberontak. Galau akan masa depannya. Itulah yang sering ada di dalam
pikirannnya setiap menatap rembulan di sudut rumahnya. Tapi, keadaan dan lingkungan
memaksanya seperti ini.
Wajah berseri. Seminggu sudah,
diah menghabiskan waktu istirahatnya
bersama istri pemilik perkebunan teh tempatnya bekerja. Berbicara ini-itu. Raut
wajah ibu retni sangat bersahabat.
“Tata, mau ikut dengan ibu? Ibu
kesepian di rumah. ” kalimat itu mengalir tanpa hambatan. Lalu ia melanjutkan “Nanti
ibu akan sekolahkan tata. Ibu tata dan adik-adik tata nanti ibu kasih uang
bulanan.”
Melayang. Terbang ke angkasa.
Mendengar kata sekolah, membayangkan masa depan yang tertutup debu jutaan tahun
sekarang masa depan itu mulai menampakkan
sinarnya.
Matanya terbuka. Menghadapkan wajah
ke arahku. “Coba tata pejamkan mata.”
Bingung. Tapi, tidak ada salahnya
mengikutinya. Dengan ekor mataku, aku melihat dia mulai memejamkan matanya
lagi. Aku mencoba.
“Apa
yang tata rasakan?” tanyanya.
“Tidak ada, gelap” jawabku sekenanya
saja. Bingung apa maksud semua ini. Lalu aku membuka mata.
“Ayo..coba lagi. Berdamailah dengan
hatimu sendiri.” Menghiraukan tannggapan orang yang berada di sebelahnya.
Desiran angin, perpaduan ilalang.
Menciptakan paduan yang sangat indah. Nada yang tercipta, tidak bisa di
rumuskan dengan not-not balok. Lebih dari itu bahkan ahli-ahli musik tidak mampu
menciptakan perpaduan musik seperti ini. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan
ini aku mendapatkan kedamaian. Bukan dari kemewahan. Bukan dari uang. Tapi itu
dari sekumpulan ilalang dan sesuatu yang tidak tampak tapi bisa dirasakan.
“Sungguh, enak bukan?” Matanya
terbuka.
Bahuku di sambar oleh cewek
disampingku. Dalam sekejap aku membuka mataku. Posisi kami makin mendekat.
“Setiap orang pasti mempunyai
masalah, itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.” Dia berdiri dan membuka
telapak tangannya. Lalu memejamkan matanya lagi.
Aku mulai menyadari. Seperti inilah
dia menikmati kehidupan ini. Bahkan dalam keadaan gelap pun masih bisa
merasakannya.
Aku berdiri. Melihat kesegala arah
dan berkata. “Aku sangat kagum tentang dirimu dalam menghadapi masalah terutama
terhadap hatimu sendiri. Kau berbeda dengan remaja-remaja yang lain.”
Dia tertawa renyah.“Aku, sama
seperti kau dan remaja lainnya. Hidup dalam masa kelabilan, kegalauan tentang
kehidupan. Sibuk mencari jati diri yang entah mendekat atau menjauh.” Langkah
kakinya menuju jalan setapak yang basah. Tanpa pikir panjang aku mengikutinya
dari belakang. Hanya mengikuti. Tidak tahu tujuan.
Walaupun entah kemana aku akan bermuara. Aku berjalan
berjingkat-jingkat. Sesekali aku melihat sudut matanya memperhatikanku dan
tersenyum. Setelah itu, kami menemukan jalan bersemen. Dan ternyata kami sudah
di bawah sebuah menara yang menjulang tinggi. Sejak kapan ada menara ini.
Tanyaku dalam hati.
Diah melepaskan sepatunya dan satu persatu tubuhnya melewati anak tangga
menara itu. Aku seperti ekornya. Setia mengikutinya. Diah sampai pada puncak
tertinggi. Menjulurkan tangannya dan tersenyum kepadaku. Dia mulai memejamkan
matanya. “Kau tahu, jalan hidup kita kurang lebih seperti perjalanan kita tadi.”
“Jalan terjal yang sempit becek
bukanlah gambaran seutuhnya tentang kondisi jalan itu. Jangan pernah menyangka
bahwa kita adalah manusia yang paling menderita yang hidup dengan penuh
kegalauan dan lantas merasa tidak ada yang bisa di lakukan.” Sambungnya.
Malu. Yah, aku malu telah menganggap
diriku seperti itu. “Apa yang kamu ketahui tentang kesulitan?” Mataku masih terpana
menyaksikan keindahan di atas menara ini. Keindahan yang aku lihat tidak hanya
hamparan ilalang. Pohon yang berbaris rapi seolah-olah membuat pagar sendiri
dengan sekolahku. Memperhatikan seekor monyet bergelantungan di dahan yang
daunnya entah ke mana.
“Kesulitan sering kali merupakan hadiah dari
Tuhan untuk menempa diri kita. Setuju?” jawabnya.
Aku hanya menggerakkan kepala ke
bawah. Diah langsung menoleh ke arahku. Sebagai reaksinya dan bertanya “Mengapa
kau mengikutiku tadi?”
Mengangkat kedua bahu. Giliranku
yang menoleh kepadanya. Sekarang kami saling berhadapan. Saling menatap satu
sama lain.
“Karena kamu yakin aku tidak akan
membawamu ke sebuah jurang, bukan?” tanyanya kembali.
Tatapannya begitu dalam. Sangat
dalam. Mulutku terkunci dengan tatapan itu.
“Yakin. Yakin bahwa dibalik
kesulitan tersimpan mutiara yang sangat indah pada waktunya. Yakin kau bisa
mengusir kegalauanmu. Yakinlah…” Kedua tangannya meraih bahuku. Mencengkram
bahuku. Bulir-bulir air itu mulai mengalir lagi.
Lalu melepaskan . Membiarkan aku
menumpahkan segalanya.
“Berusahalah menata kehidupanmu
lagi. Berdoalah kepada Tuhan. Bersabarlah.” Suara yang sangat bersahabat. Aku
masih terisak. Lalu menatap ke arahnya. Aku berusaha tersenyum meskipun
runyamnya masalahku.
“Hey, aku dengar tahun lalu kau
menjadi duta lingkungan.” Telunjuknya mengarah ke seekor monyet tadi.
“Kasihan monyet itu, tempatnya
bergelantungan sungguh memilukan. Hutan Jambi tidak seperti dulu. Berganti
dengan sawit atau karet.” Bola matanya asik tertuju pada monyet.Menunduk dalam.
Sadar. Banyak hal telah aku abaikan.
“Cepatlah memutuskan. Berdiam diri
dengan sejuta rasa galau atau sejuta rasa yakin bahwa itu bisa di atasi.
Semakin cepat kau memutuskan. Semakin cepat kau berhasil. Ingatlah masa lalu
telah mati. Masa depan masih misteri yang terpenting masa sekarang.” Tegasnya.
Udara mengantarkan suara nyaring.
Diah bergegas menuruni anak tangga yang membentuk sudut 180 derajat dan
menggerakkan tangannya kekana-kekiri. Berpisah. Aku melirik jam 10.05.
Merebahkan tubuhku, menatap hamparan putih menggantung tinggi. Memejamkan mata.
Biodata
Saya Juliyanti, anak kedua dari tiga bersaudara. Di lahirkan
16 tahun lalu di kabupaten tanjung Jabung Timur provinsi Jambi tanggal 5 juli.
Entah mulai kapan saya mulai tertarik dengan membaca dan menulis,
tetapi bisa dibilang saya adalah orang yang mentah dalam hal menulis.
Sekarang, saya sedang berusaha untuk membuat karya-karya yang lebih baik lagi.
Madrasah Aliah Negeri Insan Cendekia tempat di mana saat ini saya menimba ilmu dan perjuangan untuk mencapai
masa depan yang cerah. Sekolah ini menerapkan sistem boarding school. Sehingga,
sekarang saya tinggal di jalan Lintas-Muara Bulian, KM.21 Kelurahan Pijoan,
Kabupaten Muaro Jambi. Saya mempunyai jejaring sosial facebook bernama www.facebook.com/juli.yanti.144.