Minggu, 01 Februari 2015

Satu Jam 5 Menit



Satu jam 5 menit
            Menatap kosong hamparan ilalang berwarna hijau  yang bergerak kesana-kesini mengikuti arah angin. Entah berapa lama aku menghabiskan waktu. Menyandarkan kepala diatas kaki yang tertekuk. Menyesali semua yang pernah terjadi dan mengapa harus terjadi didalam kehidupanku.
            “sudah … nikmati saja hidup ini.” Suara ramah tiba-tiba muncul.
            Tanganku refleks melenyapkan air mata. Bola mataku sibuk mencari asal suara. Menemukan. Tidak lebih 5 meter jarakku dengannya. Cewek berkaca mata dilengkapi garis melengkung di bibirnya. Dia aktif  berorganisasi dan semua warga sekolah mengenalinya. Diah. Aku mencoba mengusirnya tapi cewek ini menolak. Sebagai respon dia melempar senyum lagi.Aku melirik ke bidang bulat berjarum dua. Pukul 9.00.
            “Mau cerita?”dia mulai berdiri melempar tatapan ke arahku.
            Tersentak. Pertanyaan itu begitu asing bagiku. Bola mataku bertatapan dengannya. Auranya memancarkan kedamaian tanpa masalah hidup. Tanpa disadari aku mencurahkan segala masalah hidup. Tidak peduli seberapa besar tanggapannya.
            Enam bulan lalu. Hatiku tersambar petir melihat segalanya pecah, isakan tangisan beradu suara keras berulang-ulang . Berkali-kali. Kakiku gemetar, melangkah secepat yang aku bisa. Menghempaskan tubuhku ke ranjang . Nafasku masih terputus-putus. Mencoba melenyapkan apa yang aku lihat. Sesuatu akan berubah. Hari berganti, mungkin ini pertanda semua berganti . Aku tidak pernah melihat senyuman, merasakan pelukan ibuku lagi. Semua hilang tiba-tiba. Menyandarkan punggung pada kursi kecoklatan.  Yang aku bisa hanya menangis, menatap foto ibu yang sedang tersenyum. Bertanya kepada ayah tidak mungkin. Raut wajah ayah berganti merah dan tatapan yang menusuk ketika aku bertanya tentang ibu. Aku berusaha menemukan misteri apa yang tersimpan.
            Misteri terbuka. Gemuruh membuat dadaku sesak. Terkadang menemukan sebuah misteri setelah berusaha sampai titik puncak perjuangan lebih menyiksa dari pada sebuah penantian misteri. Mengasingkan diri. Aku membekukan hati mungkin butuh lama untuk mencairkan.
            Sesekali sudut mataku mencuri raut wajah cewek yang ada di sampingku. Matanya terpenjam, kakinya bergerak maju-mundur. Sepersekian detikpun tidak memancarkan sedih, garis wajahnya mengalir tenang.
            “Kamu mendengarkan aku?” Sambil melempar batu-batu kecil ke arah ilalang.
            Gerakan kepala ke bawah dan senyum yang aku terima. simbol Iya. Entah apa yang ada dipikirannya. Dia melempar tatapannya lurus kedepan. “Sampai kapan kamu meratapi kehidupan ini dengan rasa kegalauan?”
            Sorot mataku tajam kearahnya. “Misteri yang kau temukan, bukanlah misteri yang sebenarnya. Misteri di dalam hidup ini sangatlah mengagumkan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.” Balasnya
            Tiba-tiba dia berkicau tentang kehidupannya dua tahun lalu.
            Gelap gulita. Yang tersisa lampu samar-samar menerangi jalannya yang tidak menentu arah. 12.05 malam. Angin membalut tubuh yang setengah sadar menuju rumah yang sangat sulit di lewati mobil.        Kalaupun bisa. Bisa dipastikan mobil itu lecet disana-sini. Mengangkat sepatu. Berjalan dengan menjinjit. Pelan, sangat pelan.
            Tersentak. Langkah kaki terhenti. Sejurus kemudian dua orang mendekati diah dengan tatapan-tatapan yang sangat kontras. Papa dan mama.
            “Diah, ikut papa” Suara itu sangat datar.
            Pasrah. Itulah yang hanya dapat diah lakukan. Mungkin pukulan atau siraman air yang akan diterimanya. Pikirnya. Langkah papa terhenti disudut rumah, tempat di mana anak pertamanya sering menatap rembulan disini. Sungguh, sangat indah.
            “Diah, kamu ini anak pertama, contoh bagi adik-adikmu. Kamu bertanggung jawab atas adik-adikmu dan ibumu.” Suara yang sangat bijaksana. Jarang bahkan tidak pernah lelaki di depan matanya berkata seperti itu. Lelaki yang biasa memukuli atau menyirami air jika diah melakukan kesalahan. Kesalahan sepele dapat sangat fatal kalau lelaki ini tahu. Aku hanya terdiam.
            Belum sempat mentari menampakkan dirinya. Teriakan bercampur tangisan memenuhi rumah. Diah terlompat dari tempat tidur.  Melihat mama dan kedua adiknya menangis tanpa henti dan disisinya papa yang terbujur kaku.  Merinding.  Mereka saling memeluk satu sama lain.
            “Tata, kau tahu bagaimana rasanya?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul.
            Terdiam. Otakku masih sulit untuk menerima bahwa cewek yang berada di sisinku pernah mengalami seperti itu.  Memilukan.“Lalu, apa yang kamu lakukan?”
            Dia mulai berkicau lagi. Mengabaikan pertanyaanku.
            Butuh waktu lama. Untuk menerima itu semuanya. Kata-kata papa itu masih terngiang-ngiang. Semuanya bercampur aduk. Menciptakan suatu perasaan yang sangat menggalaukan. Sebulan berlalu. Aku mulai berhenti keluar malam. Di rumah aku hanya melamun. 
            “Sampai kapan kamu terus meratapi hidup ini?” suara gemetar dan di temani suara batuk.
            Perkataan mama menghamburkan lamunan dan menyentak hatiku. Diah mulai menata hatinya. Mengumpulkan semangat hidup yang hancur berserakan  dan berdoa kepada Tuhan. Kekuatan itu menyeruak di dalam hatinya menyatu dengan tubuhnya.
            “Ta, doa memberikan kekuatan tersendiri dalam hidup ini. Tanpa disadari Tuhan akan membatu dalam melewati segala kesusahan dan rasa kegalauan tentang hidup ini.” Katanya ramah.
            Melihat ibunya semakin sering memegang dada lalu terduduk. Diah memutuskan untuk berhenti sekolah pada saat dirinya belum mengantongi ijazah SMP. Disaat remaja-remaja sepantarannya berpakaian seragam. Saling melempar tawa, tersenyum dan mengayuh sepeda atau melangkah bersama menyongsong masa depan yang cerah.
            Pagi-pagi buta, diah harus siap dengan keranjang besar di gantung ke leher bersandar pada punggung mungilnya. Memakai topi lebar terbuat dari bambu. Menyusuri jalan setapak, menghirup udara segar yang khas  dan di temani pemandangan yang mempesona. Butuh waktu dua jam, sampai ke dedaunan rimbun yang menawarkan sesuap nasi.
            Gunung kerinci menjulang tinggi. Keindahannya dapat mengikat siapa saja untuk berkunjung ke situ. Sesekali, sebelum mentari meninggi. Diah duduk bersimpuh di atas bukit, manarik napas dalam-dalam dan menghembuskan. Setiap hembusan terlihat jelas. Menyaksikan mentari timbul. Sungguh Indah. Hijau. Hamparan daun teh membentang luas. Satu persatu tangannya  memetik daun dari tempatnya. Dan hanya bisa pulang jika kerajang besar ini telah penuh. Dan hasilnya kurang dari cukup.
            Aku terperanjat.  Diah rupanya sangat mengagumkan.“Bagaimana kamu bisa sekolah lagi?”
            “Tuhan telah menyiapkan rencana yang sangat manis buatku dan untuk hamba-hambanya” Senyuman itu kembali terukir di bibirnya.
            Setelah kurang lebih tiga bulan diah menjalani kehidupaan seperti itu. Lelah. Ingin memberontak. Galau akan masa depannya. Itulah yang sering ada di dalam pikirannnya setiap menatap rembulan di sudut rumahnya. Tapi, keadaan dan lingkungan memaksanya seperti ini.
            Wajah berseri. Seminggu sudah, diah  menghabiskan waktu istirahatnya bersama istri pemilik perkebunan teh tempatnya bekerja. Berbicara ini-itu. Raut wajah ibu retni sangat bersahabat.
            “Tata, mau ikut dengan ibu? Ibu kesepian di rumah. ” kalimat itu mengalir tanpa hambatan. Lalu ia melanjutkan “Nanti ibu akan sekolahkan tata. Ibu tata dan adik-adik tata nanti ibu kasih uang bulanan.”
            Melayang. Terbang ke angkasa. Mendengar kata sekolah, membayangkan masa depan yang tertutup debu jutaan tahun sekarang masa depan itu mulai menampakkan  sinarnya.
            Matanya terbuka. Menghadapkan wajah ke  arahku. “Coba tata pejamkan mata.”
            Bingung. Tapi, tidak ada salahnya mengikutinya. Dengan ekor mataku, aku melihat dia mulai memejamkan matanya lagi. Aku mencoba.
            “Apa yang tata rasakan?” tanyanya.
            “Tidak ada, gelap” jawabku sekenanya saja. Bingung apa maksud semua ini. Lalu aku membuka mata.
            “Ayo..coba lagi. Berdamailah dengan hatimu sendiri.” Menghiraukan tannggapan orang yang berada di sebelahnya.
            Desiran angin, perpaduan ilalang. Menciptakan paduan yang sangat indah. Nada yang tercipta, tidak bisa di rumuskan dengan not-not balok. Lebih dari itu bahkan ahli-ahli musik tidak mampu menciptakan perpaduan musik seperti ini. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan ini aku mendapatkan kedamaian. Bukan dari kemewahan. Bukan dari uang. Tapi itu dari sekumpulan ilalang dan sesuatu yang tidak tampak tapi bisa dirasakan.
            “Sungguh, enak bukan?” Matanya terbuka.
            Bahuku di sambar oleh cewek disampingku. Dalam sekejap aku membuka mataku. Posisi kami makin mendekat.
            “Setiap orang pasti mempunyai masalah, itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.” Dia berdiri dan membuka telapak tangannya. Lalu memejamkan matanya lagi.
            Aku mulai menyadari. Seperti inilah dia menikmati kehidupan ini. Bahkan dalam keadaan gelap pun masih bisa merasakannya.
            Aku berdiri. Melihat kesegala arah dan berkata. “Aku sangat kagum tentang dirimu dalam menghadapi masalah terutama terhadap hatimu sendiri. Kau berbeda dengan remaja-remaja yang lain.”
            Dia tertawa renyah.“Aku, sama seperti kau dan remaja lainnya. Hidup dalam masa kelabilan, kegalauan tentang kehidupan. Sibuk mencari jati diri yang entah mendekat atau menjauh.” Langkah kakinya menuju jalan setapak yang basah. Tanpa pikir panjang aku mengikutinya dari belakang. Hanya mengikuti. Tidak tahu tujuan.
            Walaupun entah kemana aku  akan bermuara. Aku berjalan berjingkat-jingkat. Sesekali aku melihat sudut matanya memperhatikanku dan tersenyum. Setelah itu, kami menemukan jalan bersemen. Dan ternyata kami sudah di bawah sebuah menara yang menjulang tinggi. Sejak kapan ada menara ini. Tanyaku dalam hati.
            Diah melepaskan sepatunya dan  satu persatu tubuhnya melewati anak tangga menara itu. Aku seperti ekornya. Setia mengikutinya. Diah sampai pada puncak tertinggi. Menjulurkan tangannya dan tersenyum kepadaku. Dia mulai memejamkan matanya. “Kau tahu, jalan hidup kita kurang lebih seperti perjalanan kita tadi.”
            “Jalan terjal yang sempit becek bukanlah gambaran seutuhnya tentang kondisi jalan itu. Jangan pernah menyangka bahwa kita adalah manusia yang paling menderita yang hidup dengan penuh kegalauan dan lantas merasa tidak ada yang bisa di lakukan.” Sambungnya.
            Malu. Yah, aku malu telah menganggap diriku seperti itu. “Apa yang kamu ketahui tentang kesulitan?” Mataku masih terpana menyaksikan keindahan di atas menara ini. Keindahan yang aku lihat tidak hanya hamparan ilalang. Pohon yang berbaris rapi seolah-olah membuat pagar sendiri dengan sekolahku. Memperhatikan seekor monyet bergelantungan di dahan yang daunnya entah ke mana.
             “Kesulitan sering kali merupakan hadiah dari Tuhan untuk menempa diri kita. Setuju?” jawabnya.
            Aku hanya menggerakkan kepala ke bawah. Diah langsung menoleh ke arahku. Sebagai reaksinya dan bertanya “Mengapa kau mengikutiku tadi?”
            Mengangkat kedua bahu. Giliranku yang menoleh kepadanya. Sekarang kami saling berhadapan. Saling menatap satu sama lain.
            “Karena kamu yakin aku tidak akan membawamu ke sebuah jurang, bukan?” tanyanya kembali.
            Tatapannya begitu dalam. Sangat dalam. Mulutku terkunci dengan tatapan itu.
            “Yakin. Yakin bahwa dibalik kesulitan tersimpan mutiara yang sangat indah pada waktunya. Yakin kau bisa mengusir kegalauanmu. Yakinlah…” Kedua tangannya meraih bahuku. Mencengkram bahuku. Bulir-bulir air itu mulai mengalir lagi.
            Lalu melepaskan . Membiarkan aku menumpahkan segalanya.
            “Berusahalah menata kehidupanmu lagi. Berdoalah kepada Tuhan. Bersabarlah.” Suara yang sangat bersahabat. Aku masih terisak. Lalu menatap ke arahnya. Aku berusaha tersenyum meskipun runyamnya masalahku.
            “Hey, aku dengar tahun lalu kau menjadi duta lingkungan.” Telunjuknya mengarah ke seekor monyet tadi.
            “Kasihan monyet itu, tempatnya bergelantungan sungguh memilukan. Hutan Jambi tidak seperti dulu. Berganti dengan sawit atau karet.” Bola matanya asik tertuju pada monyet.Menunduk dalam. Sadar. Banyak hal telah aku abaikan.      
            “Cepatlah memutuskan. Berdiam diri dengan sejuta rasa galau atau sejuta rasa yakin bahwa itu bisa di atasi. Semakin cepat kau memutuskan. Semakin cepat kau berhasil. Ingatlah masa lalu telah mati. Masa depan masih misteri yang terpenting masa sekarang.” Tegasnya.
            Udara mengantarkan suara nyaring. Diah bergegas menuruni anak tangga yang membentuk sudut 180 derajat dan menggerakkan tangannya kekana-kekiri. Berpisah. Aku melirik jam 10.05. Merebahkan tubuhku, menatap hamparan putih menggantung tinggi. Memejamkan mata.


Biodata
            Saya Juliyanti,  anak kedua dari tiga bersaudara. Di lahirkan 16 tahun lalu di kabupaten tanjung Jabung Timur provinsi Jambi tanggal 5 juli. Entah mulai kapan saya mulai tertarik  dengan membaca dan menulis, tetapi  bisa dibilang saya adalah orang yang mentah dalam hal menulis. Sekarang, saya sedang berusaha untuk membuat karya-karya yang lebih baik lagi. Madrasah Aliah Negeri Insan Cendekia tempat di mana saat ini saya  menimba ilmu dan perjuangan untuk mencapai masa depan yang cerah. Sekolah ini menerapkan sistem boarding school. Sehingga, sekarang saya tinggal di jalan Lintas-Muara Bulian, KM.21 Kelurahan Pijoan, Kabupaten Muaro Jambi. Saya mempunyai jejaring sosial facebook bernama www.facebook.com/juli.yanti.144.



           

0 komentar:

Posting Komentar